0
5410

RelaxVenture Ujung Kulon Part I: Orang Bilang Itu Jalan Buntu, Bagi Kami Itu Jalan Baru

GILAMOTOR.com – Malam semakin meninggi, angin perlahan menembus celah dedaunan pohon di halaman Gilamotor Headquarter di Jl. Bangka IX No.2 Jakarta Selatan pada Jumat, 1 Mei 2015. 4 unit motor milik Gilmoters sudah berbaris dengan segala muatan logistik touring RelaxVenture Ujung Kulon. Termasuk beberapa botol oli Evalube Synthetic Pro 4T dan Evalube Scootic yang akan kami gunakan di perjalanan pulang.

Cuaca malam itu cerah dengan suhu cukup rendah setelah hujan mengguyur Jakarta di sore hari. Tepat pukul 21.30 wib, 5 orang Gilmoters salah satunya adalah wanita, bergerak meninggalkan markas Gilamotor menuju Ujung Kulon melalui jalur Jl. Gatot Soebroto, Daan Mogot, Tangerang, Banten.

Terinspirasi dari teman-teman bikers Menembus Batas Indonesia [MBI], touring ini pun berjalan tak seperti touring sebelumnya. Kali ini RelaxVenture lebih menantang dan mengajak Gilmoters lebih menyatu dengan alam.

Setelah lebih dari 2 jam perjalanan dari Jakarta, kami tiba di kawasan Labuan, Banten. Jam menunjukkan pukul 00.30 wib. Meski sudah lewat tengah malam, tubuh kami masih merasa segar. Semangat untuk menembus trek pesisir pantai mampu mengusir rasa kantuk dan lelah. Setelah 30 menit beristirahat, kami melanjutkan perjalanan menuju kawasan Tanjung Lesung.

Tiba di gerbang wisata Tanjung Lesung, kami sedikit di bingungkan oleh arah GPS yang kami gunakan. GPS itu tak merekomendasikan kami menembus jalan di pesisir pantai Tanjung Lesung menuju Sumur-Cigeulis yang ada di hadapan kami. GPS memerintahkan kami untuk berbalik arah dan masuk ke jalan yang menuju Pulau Umang.

“Bray, GPS gw nyuruh kita balik arah dan lewat persimpangan ke arah Umang yang tadi kita lewatin. Tapi di peta ini ada jalan menuju kawasan Sumur, anehnya kita disuruh berbalik arah,” ujar Harri Sandi Prayoga yang saat itu jadi Road Capten.

“Tapi ada jalan ke kawasan Sumur, kan.?” tanya Muhammad Ridwan a.k.a Ayam.

“Ada. Tuhh, ada jalan tembus ke sana,” jawab Harri sambil menunjukkan gambar peta di GPSnya.

“Gimana bang Gojay, kita balik arah atau lanjut?” tanya Ridwan.

“Di peta GPS itu beneran ada jalan kan..?” tanya Gojay yang langsung dijawab “ada..!” oleh Harri.

“Lo yakin gak.? Kalau yakin, yaudah kita gass lewat jalur ini,” timpal Gojay. “Ini jalur yang dilewati temen-temen MBI,” jelas Ridwan.

“Ya sudah, gass.. Kita lanjut,” cetus Gojay sambil memuntir slongsong gas.

Mata para wisatawan lokal yang sedang beristirahat di depan gerbang witasa Tanjung Lesung memandang penuh heran ke arah kami. Terlihat tiga minibus yang mengantarkan para wisatawan lokal itu terparkir di sisi kiri jalan dengan beberapa bagian pintu dan kaca jendela yang terbuka. Sebagian penumpangnya beristirahat di sawung-sawung dan sisanya lebih memilih tetap di dalam mobil.

Dengan yakin, kami pun melanjutkan perjalanan melalui jalur yang tak direkomendasikan oleh GPS.

Awalnya kami hanya dihadapkan oleh trek rusak bebatuan sebesar kepalan tangan. Sekitar lebih dari 2 km, kami menemukan jalan yang sudah dilapis beton. Sayangnya, jalan itu tak sepenuhnya dilapis beton. Kami kembali dihadapkan jalan berbatu dan tanah.

Dalam suasana gelap gulita, jarak pandang sangat terbatas. Kami hampir tak bisa melihat apa yang ada di sekililing. Bahkan kami pun tak bisa melihat secara jelas jalan yang akan dilalui kecuali sebatas pendaran lampu depan motor, tak lebih dari 20-30 meter.

Malam semakin mendekati pagi. Jam menunjukkan pukul 3 dini hari dan kami ada di tempat yang tak bisa kami lihat secara jelas bagaimana wujudnya. Yang telihat samar hanyalah bayangan pohon-pohon besar di sisi kiri dan kanan tersapu pendaran cahaya lampu motor. Dan pantulan cahaya lampu di tanah basah di depan kami. Di kejauhan terlihat samar anjing liar berlarian dan terdengar samar lolongannya saat raungan mesin keluar dari kenalpot.

Semakin meninggalkan gerbang wisata Tanjung Lesung, jalan semakin tak berbentuk. Gelap semakin pekat, tanah semakin lengket dan basah. Di sinilah fisik, skill dan kesolidan kami diuji.

Skutik Yamaha Mio jadi korban pertama tanah becek berlubang. Tanahnya terlalu licin untuk dilewati sehingga ban belakang kehilangan traksi. Semakin throttle dibuka, semakin dalam ban terpendam ke tanah. Salah satu dari kami membantu Mio yang tersangkut di tanah basah.

Selepas Mio, tak lama berselang giliran Honda Supra X125 yang tersangkut di lumpur. Secara bergantian kami membantu mendorong dan mengangkat motor yang tersangkut di tanah gembur itu. Yamaha Byson dan Honda CS1 pun punya nasib yang sama seperti Mio dan Supra X.

Korban terparah adalah Yamaha Byson tunggangan Gojay. Trek yang awalnya dikira aman untuk dilewati, ternyata membuat separuh bannya terkubur. Bahkan knalpotnya nyaris terendam di dalam lumpur. Evakuasi Byson lah yang paling banyak memakan waktu. Lebih dari 1 jam kami mengevakuasi motor bertubuh gambot itu.

“Wahahaaa.. Akhirnya si Kebo menunjukkan sifat aslinya, suka berkubang di lumpur,” guyon Harri sambil tertawa memecah sunyi. Ringkikan hewan malam jadi teman kami di tengah jalan yang tak kami ketahui seperti apa kondisinya. Entah memberi semangat untuk kami atau hewan itu mungkin menertawakan kami.

Pekatnya malam membuat kami tak bisa melihat apa-apa kecuali tim touring ini. Usaha keras kami lakukan untuk mengevakuasi Byson berwarna merah itu.

Keringat bercucuran di sekujur tubuh kami. Kacamata dan visor helm kami mulai berembun karena uap yang keluar dari tubuh. Sempat terlintas untuk menyerah dan menunggu pagi datang. Tapi canda dan rasa persaudaraan diantara kami mampu mendongkrak semangat untuk bisa menaklukkan trek ini sebelum pagi datang.

Tubuh semakin basah oleh keringat dan suhu badan semakin naik. Kami tak bisa lagi mengevakuasi dengan perlengkapan berkendara. Helm dan sarung tangan harus kami lepas dan kami memilih menghentikan evakuasi sejenak untuk mengumpulkan tenaga.

“Satuuu.. duaa.. tigaaaaa…..” “satuuu… duaaaa.. tigaaaaa….” Aba-aba untuk mengangkat ban yang terbenam lumpur memecah sunyi dan pekatnya malam. Evakuasi Byson merah pun berhasil. Sejak saat itu, jaket, sepatu dan celana yang kami gunakan tak terlihat lagi warna aslinya.

Dengan perasaan senang, perjalanan kami lanjutkan. Yang ada di pikiran kami, itu adalah rintangan terakhir yang kami hadapi. Tapi semakin mendekati pagi, kondisi jalan berlumpur itu tak menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Satu persatu motor kembali jadi korban lumpur di jalan yang belum jadi itu.

Jelang pukul 6 pagi, akhirnya kami menemukan jalan berlapis kerikil dan bebatuan cadas. Langit mulai terlihat warnanya. Pohon di sekitar mulai terlihat lebih jelas wujudnya, dan di kejauhan mulai terlihat lampu rumah-rumah warga.

Saat matahari mulai memperjelas pandang kami, kami pun tertawa melihat tampang dan perlengkapan berkendara kami yang tak karuan terlapisi lumpur. Kami menghentikan perjalanan sementara di sebuah gerbang sekolah SMPN di Cigeulis. Sambil tertawa dan beristirahat, kami mengulang cerita pengalaman yang baru saja kami dapatkan di touring RelaxVenture 2015.

Kami pun bergerak ke arah pemukiman warga untuk mengisi perut. Beberapa cangkir kopi hitam dan beberapa potong pisang goreng menemani istirahat kami sebelum melanjutkan perjalanan menuju Taman Nasional Ujung Kulon.

Sambil mengunyah pisang goreng, kami pun berujar. “Tadi itu, orang bilang itu jalan buntu, tapi bagi kami itu jalan baru.” Karena warga setempatpun hampir tak pernah melewati jalan itu.

Cerita Selanjutnya : RelaxVenture Ujung Kulon Part II : Merekam Cerita Dalam Hangatnya Tenda

Gilamotor RelaxVenture Ujung Kulon 1 Gilamotor RelaxVenture Ujung Kulon 2 Gilamotor RelaxVenture Ujung Kulon 4 Gilamotor RelaxVenture Ujung Kulon 5 Gilamotor RelaxVenture Ujung Kulon 6 Gilamotor RelaxVenture Ujung Kulon 7 Gilamotor RelaxVenture Ujung Kulon 9 Gilamotor RelaxVenture Ujung Kulon 10 Gilamotor RelaxVenture Ujung Kulon 11 Gilamotor RelaxVenture Ujung Kulon 12 Gilamotor RelaxVenture Ujung Kulon 13 Gilamotor RelaxVenture Ujung Kulon 14